Diterkam Televisi
TV: The Cold-Blooded Killer
Itulah kesimpulan yang bisa saya ambil saat ini setelah letih melihat keadaaan media televisi yang semakin melenceng dari fungsi media televisi sebagai agen pembangunan (terutama moral dan intelektualitas masyarakat).
Saya sendiri semakin apatis dengan pertelevisian Indonesia. Ada sih televisi, tapi dipakenya buat nyambung ke laptop, jadi kalo nonton film lebih asoy :p. Setahun lalu bahkan saya sudah hampir mau mengambil tindakan yang sama dengan industri perfilman Indonesia. Untungnya film-film bermutu seperti 5 cm atau Habibi-Ainun memunculkan kembali harapan saya. Walaupun film-film itu bukan hasil murni karena diangkat dari novel-novel yang udah laris duluan (tetep ya masalah kreativitas di industri kreatif semakin masih miris) Hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan kegelisahan saya pada industri media televisi. MUAK!
Setahun lalu (atau lebih mundur ya?) industri perfilman kita selalu digentayangin hantu film hantu yang nyerempet ke arah seksis dan soft porn. Soft Porn? Ah ya tentu saja. Kapan sih film-film itu tidak menggunakan artis yang sangat lekat dengan label 'seksi'? Bahkan bintang JAV (Japan Adult Video) pernah ikut meramaikan industri kita itu. Logikanya di mana kita harus pakai artis bintang porno untuk film hantu? Logikanya dimana hantu yang serem-serem digabungin sama adegan sex?
Banyak yang bilang muak, sama seperti saya. Tapi apakah sebanyak yang menonton film-film itu? Pasti tidak. Jika iya, kenapa film hantu itu terus bergentayang di bioskop-bioskop kesayangan kita? Karena MASIH RAMAI yang menyukai genre tersebut. Walaupun data menyembutkan film indonesia paling laris bukan film hantu namun tetap saja jumlah penonton film hantu masih bisa bikin untung.
Sama seperti industri televisi di negeri tercinta kita ini. Banyak yang muak melihat aksi joget-jogetan dengan seruling ajaib, sikom di dalam rumah miring, jalan-jalan petualang tapi pembawanya menthel dan gathel dan terkadang ada acara yang durasinya sampai 4 jam!. Banyak juga yang muak liat si 'dia lagi dia lagi' muncul di televisi. Gak di infotainment, gak di stasiun A, B, C sampe Z si "dia lagi dia lagi" selalu ada. Elektabilitasnya menyaingi capres yang lagi booming. Banyak yang muak liat acara komedi tidak bermutu yang semakin marak (SUCI masih okelah), humor-humor nyeleneh yang selalu ada di setiap kesempatan atau kadang dipaksain. Banyak yang bilang muak.
Tapi kenapa sampai saat ini masih ada?
MASIH RAMAI BRO YANG NONTON!
Bahkan media televisi sendiri pun sekarang (atau dari dulu kayaknya) sudah tercemar kapitalisme. Masih inget kasus kuis kebangsaan? Nah, salah satunya tuh.
Media televisi adalah salah satu agen pembangunan. Media bisa menjadi akselelator pembangunan negeri tercinta kita jika dikembalikan pada fungsinya. Sebagai sumber informasi dan saranan edukasi bagi masyarakat.
Pada jaman Orde Baru pembangunan terjadi secara gila-gilaan. Hal tersebut juga disebabkan oleh sortir informasi ketat yang berfokus pada kegiatan pembangunan saja. Hal ini memacu kesadaran masyarakat serta meningkatkan antusiasme akan pembangunan. Pada saat itu pemerintah kita sadar, media penting dalam kegiatan pembangunan. Maka ada program koran masuk desa dll. Fungsinya tidak lain adalah untuk mengedukasi masyarakat dan menjadi sumber informasi utama.
Sekarang, dengan kemudahan akses informasi harusnya kita bisa lebih dari sekedar saat jaman orde baru. Kalo dulu kita bisa swasembada beras, maka sekarang harusnya kita bisa swasembada bidang lainnya.
UPS!
Tapi yang sadar akan dunia digital itu masih sedikit! Masih banyak yang bergantung informasi dari televisi.Tidak salah, tapi melihat keadaan seperti ini, apakah masih bisa menjadi andalan? Jumlah televisi di Indonesia mungkin hampir menyamai jumlah KK penduduk sendiri. Sekarang siapa yang tidak memiliki televisi? Dalam satu desa pun pasti ada satu atau dua buah televisi.
Lembaga rating media televisi pun baru cuman ada satu loh. Bisa dibayangkan berapa besar coverage minat penduduk akan informasi yang mereka ingin dapatkan? Sedikit sekali. Bahkan dalam satu kota pun tidak mencapai sepertiganya.
Alat-alat pengukur rating ini diberikan kepada semua golongan SES di berbagai kota terpilih. Sudah merata? Hemm.
Jika dikategorikan dalam SES, maka SES golongan atas pada jam-jam prime time lebih condong melakukan aktivitas selain menonton televisi. Lalu siapa yang menonton? Pembantu rumah tangga. Masyarakat SES B ke atas pasti hampir semuanya memiliki pembantu di rumah tangga. Jadi bisa dibayangkan bukan?
Hasil data input dan output sudah sesuai, tapi apakah sesuai dengan keinginan masyarakat kita yang muak seperti saya ini?
Tidak munafik saya suatu saat nanti sebagai praktisi komunikasi akan menari keuntungan. Tapi jika sampai harus merusak moral dan intelektualitas? Sayangnya sekarang itulah yang sedang terjadi.
Memang tak ada salahnya media mengikuti 'kemauan' masyarakatnya untuk mencari nafkah demi anak istri, tapi sebegitu rendahnyakah moral dan nasionalisme kita dengan mengorbankan moral, akhlak dan intelektualitas masyarakat Indonesia? Kadang suka lucu aja sih liat para crew televisi itu di shoot saat joget-joget. Gak malu ya?
Bagi saya, industri media televisi sudah pada tahap merusak. Bagi kalian yang berpendidikan dan sudah terjamah oleh dunia digital, beruntunglah! Kalian selamat dari terkaman televisi (tapi bisa jadi kena terkaman kejamnya dunia digital) Tapi bagi yang tidak?
Mereka-mereka ini yang tidak akan terus ada, akan terus ada, dan akan terus menonton televisi. Mereka-mereka ini hanya akan berhenti jika mereka mati. Mustahil kita mendapatkanperubahan jika menungu mereka-mereka ini sampai mati. Panjang perkaranya!
Kalau kata Wiji Thukul "Hanya ada satu kata: Lawan!"
Lawan mereka dengan mengedukasi mereka mereka itu. Lawan mereka dengan petisi kita. Lawan mereka dengan matikan televisi kita! Setidaknya dengan mematikan televisi kita tidak perlu tercemar secara perlahan-lahan. Atau membukakan jalan seseorang untuk menjadi korban terkaman televisi. Swasta pun rugi gak ada yg nonton, kita pun tidak terkena dampak buruknya. Percayalah, sebaik-baiknya televisi menurut anda, keburukannya akan terasa lebih nantinya.
You either die a hero or you live long enough to see yourself become the villain -The Dark Knight
Same topic, another articles that you may interest here and here :)
0 comments