Rumah
Siang itu sinar matahari terik memanasi bumi. Musim kemarau menyerang jakarta. Ah ya, memasuki bulan Juni memang selalu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Bau matahari seperti parfum sehari-hari. Ke sana-ke mari selalu ditemani matahari. Hangat, namun menyengat. Cerah namun menyilaukan.
Aku membawa 2 koper besar dari mobil menuju kamar baruku di lantai 2. Kamar berukuran 4x3 dengan berhiaskan dinding putih kekuningan karena termakan umur, serta ventilasi kecil di atas pintu masuk yang sepertinya kurang begitu berguna untuk sirkulasi udara. Jendela? Ada. namun rasanya percuma. Kamar yang berada di pojok lorong ini memaksakan arus udara berjalan tidak baik. Sehingga lembab menyerang seluruh pelosok ruangan. Bersih-besih secara teratur adalah wajib hukumnya kalau seperti ini pikirku. Aku tidak ingin kamar ini menambah hiasan baru dengan sendirinya. Jamur dan lumut. Musuh besar higenitas.
Kos-kosan yang menyerupai bangunan ruko ini berada di tengah kota Bandung. Mereka bilang, Bandung kota kembang. Tapi sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, kendaraan bermotor lebih tampak terlihat. Abu-abu semakin mendominasi kota kembang ini. Mungkin yang mereka maksud adalah kembang lainnya? Entahlah.
Dengan sistem campur antar pria dan wanita, kos-kosan ini menjadi ramai jika sudah menjelang sore ke malam hari. Para penghuninnya berkumpul di teras depan, balkon atas atau di lorong. Dari membicarakan artis Hollywood sampai main catur ditemani secangkir kopi hitam semua menyatu dalam kosan ini. Para penghuni tau batasan privasi masing-masing. Hal inilah yang saling menjaga batasan dengan ornag lain. Sehingga tidak mengambil hak-hak orang lain dan meresahkan penghuni kamar lainnya. Walaupun campur, sampai saat ini tidak ada hubungan cinlok alias cinta lokasi antar penghuni kamar. Karena sesama penghuni merasa mereka seperti keluarga. Kos-kosan ini adalah rumah mereka. Sejauh apapun mereka pergi, selalu kembali. Bahkan para alumnus (mantan penghuni) masih sering main ke sini. Karena hal-hal seperti inilah aku memilih tempat ini. Karena aku telah kehilangan "rumah" ku lama sekali. Sampai aku telah lupa definisi rumah itu sendiri.
Aku membawa 2 koper besar dari mobil menuju kamar baruku di lantai 2. Kamar berukuran 4x3 dengan berhiaskan dinding putih kekuningan karena termakan umur, serta ventilasi kecil di atas pintu masuk yang sepertinya kurang begitu berguna untuk sirkulasi udara. Jendela? Ada. namun rasanya percuma. Kamar yang berada di pojok lorong ini memaksakan arus udara berjalan tidak baik. Sehingga lembab menyerang seluruh pelosok ruangan. Bersih-besih secara teratur adalah wajib hukumnya kalau seperti ini pikirku. Aku tidak ingin kamar ini menambah hiasan baru dengan sendirinya. Jamur dan lumut. Musuh besar higenitas.
Kos-kosan yang menyerupai bangunan ruko ini berada di tengah kota Bandung. Mereka bilang, Bandung kota kembang. Tapi sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, kendaraan bermotor lebih tampak terlihat. Abu-abu semakin mendominasi kota kembang ini. Mungkin yang mereka maksud adalah kembang lainnya? Entahlah.
Dengan sistem campur antar pria dan wanita, kos-kosan ini menjadi ramai jika sudah menjelang sore ke malam hari. Para penghuninnya berkumpul di teras depan, balkon atas atau di lorong. Dari membicarakan artis Hollywood sampai main catur ditemani secangkir kopi hitam semua menyatu dalam kosan ini. Para penghuni tau batasan privasi masing-masing. Hal inilah yang saling menjaga batasan dengan ornag lain. Sehingga tidak mengambil hak-hak orang lain dan meresahkan penghuni kamar lainnya. Walaupun campur, sampai saat ini tidak ada hubungan cinlok alias cinta lokasi antar penghuni kamar. Karena sesama penghuni merasa mereka seperti keluarga. Kos-kosan ini adalah rumah mereka. Sejauh apapun mereka pergi, selalu kembali. Bahkan para alumnus (mantan penghuni) masih sering main ke sini. Karena hal-hal seperti inilah aku memilih tempat ini. Karena aku telah kehilangan "rumah" ku lama sekali. Sampai aku telah lupa definisi rumah itu sendiri.
0 comments