Petualangan Riko #1

Hai, namaku Riko. Short of Printer Himakom. Iya, aku adalah printer. Printer Himakom yang selalu dicari dan dibutuhkan sama anak-anak Himakom. Jangan salah, aku bukan sekedar printer. Mungkin aku adalah printer pertama di dunia yang pergi berpetualang. Jadi boleh lah aku berbangga diri. Mengarungi perjalanan darat menuju ibu kota dari sekre Himakom di Solo, akupun menyaksikan banyak hal dan cerita yang siap dibagikan.


Sore itu dengan terburu-buru Iis, salah satu pengurus Himakom membawa aku pergi. Sebelumnya, ia masih menyempatkan diri mengisi tinta di tubuhku. Walaupun entah prosedur yang ia jalani benar atau tidak, ia cuek mengisi tinta hitam itu dengan suntikan yang telah disiapkan. Agak sakit memang. Karena dia terlihat tergesa-gesa. Hendak kemana aku akan dbawa?

Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di sebuah ruangan. Bercatkan putih yang mulai terlihat coklat dan menguning. Walau sekitarnya terlihat rapih dan bersih. Banyak buku yang terpajang di rak atas televisi. Seprai kuning bermotif bunga menguatkan kesan kalau ini adalah kamar perempuan. Eh, kenapa ada pria di sini?

"Elu ngapain dah is bawa printer?" Nanda muncul setelah membukakan pintu untuk Iis dan aku. Ini kamarnya?

Nanda adalah satu pengurus Himakom juga. Kudengar dia sudah menjadi ketua yang baru. Entahlah. Cuman curi dengar dari tetangga sebelah. Yang lebih penting, kenapa aku berada di sini?Apakah aku mau dipinjem olehnya? Kenapa tidak dia saja yang datang ke sekre? Kulihat ada printer lain yang tertutup kain putih di atas rak dekat jendala. Satu printer masih kurang? Sebanyak apa memang kerjaanya? Banyak pertanyaan menyerang kepalaku seketika.

Sedetik kemudian akupun sudah berpindah tangan. Masih di dalam dus dan plastik putih. Namun belum ada satupun pertanyaan yang terjawab. Ada apa sih sebenarnya?

Dari kemarin aku masih sehat kok. Banyak yang memakai jasa ku dari kemari. Dari print, scan sampai fotocopy. Jumlahnya pun relatif banyak. Aku masih dalam kondisi prima. Belum butuh service. Atau aku mau dijual? Lantas akan pakai apa mereka nanti?Perasaan was-was mulai menerjang karena aku tidak ingin dijual. Sulit rasanya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Lagipula aku senang berada di sekre Himakom.

Tangan-tangan besar itu mulai mengutak-atik tubuhku. Hei! Tak bisakah kau permisi!? Aku sedikit kesal karna Nanda seenaknya membuka bagian-bagian tubuhku untuk mengecek keadaan di dalamnya.  "Ini printer bisa nyala kagak ya? Bukannya rusak?" Kata Nanda dengan muka ragu-ragu. Enak saja dia bicara! Kau saja yang tak pernah ke sekre. Melirik sedikit padaku pun tidak. Bah! Aku juga ogah dilirik pria apalagi kau. Aku sedang dalam keadaan prima, buat apa kamu berlagak jadi tukang service?

"Ini beneran bisa dipake gak is?" masih dengan nada ragu-ragu gak percaya Nanda terus memeriksa "Bisa kok, tadi udah dicoba" Iis mencoba menyakinkan. Tuhkan, apa aku bilang. Aku sedang berada dalam kondisi prima. Ibarat kata, tidak ada tugas yang tak bisa aku print saat ini.

"Lagian ngapain bawa printer dah? Berasa di Jakarta gak ada tempat buat nge-print aja".Mulai kesal aku pun semakin menggerutu. Aku pun kalau bisa lari, tidak ingin berada di sini, tahu.

"Yee, daripada besok ribet kan nyari print-printan mending repot bawa-bawa dari sini" Hah! Rasakan! Akhirnya ada juga yang mengerti.

Eh, Jakarta? Mau ngapain??

Pertanyaan lama mulai mengabur, namun pertanyaan baru terasa menggangu malam tidurku.

Esok pun tiba. Aku sudah duduk manis di kereta. Menyebalkan sekali. Kenapa mereka harus beli tiket kereta malam sih? Aku kan jadi tidak bisa liat pemandangan. Sepanjang mata yang aku lihat hanya orang-orang yang terkantuk-kantuk. Jelas saja sekarang sudah pukul 12 malam. Siapa yang tak terlelap? Terlebih ketika dalam perjalanan panjang yang lebih baik menyimpan tenaga.

Satu dua masih bercengkrama. Sama seperti mereka. Sinta, Iis dan Sufi yang masih satu bangku denganku. Nanda? Hahaha. Dia jauh berada di gerbong entah berapa. Berpindah kursi dengan Sinta. Sempat aku lihat mukanya merengut-rengut harus sendirian ditengah orang asing dalam perjalanan 10 jam menuju Jakarta. Rasakan!

Kereta terasa ramai. Walau memakai AC tapi gerah masih tetap menerjang. Bahkan beberapa mencoba membuka baju untuk mengusir rasa gerah. Barang-barang bawaan penumpang mungkin lebih banyak dari penumpangnya sendiri. Beberapa berdesakan di atas rak, beberapa berhimpitan dibawah kolong kursi penumpang. Bahkan ada yang memaksakan untuk dipanku takut-takut tas mereka rahib tak jelas kemana.

Cengkrama mereka lambat laun memudar. Berganti dengan dengkuran halus yang terdengar sayup di antara deru laju kereta. Seakan terhipnotis, mata ini pun ikut terpejam. Aku pun bermimpi akan Jakarta.

Ah Jakarta, esok kita kan jumpa. Seperti apa rupamu? Aku hanya bisa meraba. Tak terarah dan penuh harapan. Ah Jakarta. Kata mereka kau kota sejuta impian. Benarkah? Ku dengar hanya omong kosong semata. Tak sabar ingin segera berjumpa dengan mu, Jakarta.

Share:

0 comments