Senja
Seharusnya hari ini aku bisa tersenyum. Seharusnya aku hari ini bahagia. DIbalut gaun putih perak menjuntai indah sampai permadani, kilauan permata di antara jemari dan mahkota, serta tidak lupa rangkaian bunga indah menghiasi tempat ini. Altar putih bersih dengan kemilau lampu redup itu terlihat begitu indah. Siapapun wanita yang melihat, rasanya ingin berada disana. Diabadikan cintanya atas nama kesetiaan hidup dan mati. Namun, kembali lagi. Smeua itu seharusnya. Nyatanya aku tidak bahagia. Aku tidak bisa tersenyum.
Aku berusaha terlihat baik-baik saja agar semua bisa baik-baik saja. Aku tidak ingin cuman karena kegeoisanku semata, acara yang sudah susah payah dibuat oleh orang tua ku dan orang tua calon suami ku ini berantakan sia-sia. Walaupun dalam hati terdalam aku ingin acara ini batal karena bencana atau apapun itu. Ada korban jiwa pun aku tak masalah, yang penting aku bisa mengulur langkahku menuju pelaminan. Membayangkan kakiku melangkah ke arah altar membuat hatiku teriris satu persatu. Gugur bagai bunga menyapa musim dingin.
Aku mencoba mengintip dari balik ruang ganti. Ramai. Satu persatu aku perhatikan wajah para tamu itu. Siapa mereka? Apakah pernah bertemu? Saudara jauh? Relasi? Keluarga dari mempelai pria kah? Kenapa mereka disini? Apa cuman karena besarnya nama keluarga itu? Atau aku yang menyadingkan predikat seorang bintang? Entahlah. Rasanya menyebalkan ketika acara pribadi mu terlebih pernikahanmu dihadiri oleh orang yang bahkan jelas sekali tidak bisa kita ingat dalam memori kita. Sedalam apapun kita menggalinya ke dalam.
Aku berusaha mengenali wajah itu satu persatu. Mencari sesosok pria yang terlalu istimewa. Iya, dia terlalu istimewa. Bahkan bagi ku, yang kalian lihat adalah seorang bintang, tak mampu menyainginya. Karena dia seperti matahari. Tanpa ku, dia bisa bersinar cerah. Mungkin, tanpa dia di sisi, sekarang aku hanyalah manusia pada umumnya. Walaupun aku ingin begitu, namun aku juga tak ingin kehilangan dirinya. Lebih baik aku membuang mimpiku daripada apa yang ada dalam diriku hilang tak kembali.
Mata itu, Aku kenal. Tidak asing rasanya. Tahi lalat di sudut bawah kanan mata kanannya adalah cirinya. Aku tahu betul itu adalah dia. Ah! Apa yang harus aku lakukan? Berlari menemuinya kah? Meneriakkan namanya di depan lautan manusia ini? Atau aku diam saja memperhatikan dirinya.....
Letih....
Haruskan aku kembali seperti 2 tahun lalu. Hanya memperhatikan dan mengawasi. Tanpa tindakan yang berarti.
Letih.....
Melihat orang lain berada di sisi mu. Seharusnya aku. iya AKU!
Ketakutan ku muncul kemabali. Mengambil alih kendali tubuh ini. Ngilu terasa disekujur tubuhku. Derasanya emosi yang mengalir dalam tubuh membuat tubuh ini berguncang pelan. Tolong, jangan kembali. Aku merintih pelan. Setetes demi setetes air mata ini menalir membasahi pipi. Terjatuh pelan membahasi gaun putih perak ini.
Tersedu dalam rindu dan sedih, aku dikagetkan dengan suara keras di luar ruang ganti pengantin wanita.Aku seka perlahan air mata di kedua pipiku dengan telapak tangan. Satu, dua aku kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang cukup bodoh membuat keributan di acara sebesar ini? Apakah dia tidak takut dengan nama besar yang ada di balik punggungku ini? Bahkan, mafia kelas kakak pun berfikir dua kali jika ingin menganggu nama besar keluarga ini. Aku yakin, 10 menit lagi, namanya akan hilang di muka bumi.
Aku kembali terkaget. Suara besar itu kembali muncul. Namun datang bertubi-tubi. Seperti suara buku yang jatuh dari rak bersamaan.
Hening......
Pembunuh bayaran kah? Teroris? Atau siapa? Tolong, seseorang. Siapapun juga.
Kenapa? Kenapa minta tolong? Bukankah aku tadi menginginkan bencana terjadi? Agar segalanya bisa tidak terjadi. Bukankah aku pikir ada korban jiwa itu tak masalah? Ah, nyawaku ini saja juga aku rela. Asal aku bisa pergi dari sini. Aku menyeringai. Menertawakan rencana keji pada diri ku. Bersyukur atas kutukan dan bencana yang terjadi malam ini. Aku tertawa menyeringai. Membayangkan air mata dan darah tumpah beradu diantara bubuk mesiu. Hahahaha. Lakukan! Lakukan lah wahai orang asing! Luluhlantakan tempat ini! Kubur harapan dan impian mereka! Hanguskan seluruh tubuhnya sampai menjadi abu bertemu debu.
Dengan senyuman tipis dan bahagia tidak terkira aku berani menyambut pesta itu. Membuka pintu itu perlahan. Bersiap mengikutisetiap iramanya. Aku perkuat langkah dan genggamanku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menghitung dalam hati. Menunggu kesiapan hati. Ini saatnya. Aku menyambut pesta ini. Tuan rumah harus menyelenggarakannya dengan meriah. Tuan rumah harus ikut bersenang-senang. Mari kita mulai pesta malam ini, hai orang asing.
Cahaya perlahan-lahan menerpa wajahku. Aku menerka-menerka siapa dia. Bagaimana rupanya? Apakah seperti Yakuza? Atau lebih mirip Mafia? Atau mungkin seperti teroris? Yang manapun tak masalah asal dia bisa membuat suasana malam ini meriah.
Mata kami beradu.
Senyuman gembira dan sakitku belum hilang. Rambut yang mulai kusutberantakan ini kurapihkan menepi. Agar mataku bisa melihatnya lebih jeli.
Kenapa?
Kenapa?
Dari bermilyaran manusia di bumi harus dia?
Sorot mata tajam itu. Mata kanan dengan hiasan di pojok kanannya itu. Hiasan penggoda para wanita. Dia, yang terlalu istimewa. Dia yang ingin aku tinggalkan. Dia yang tidak bisa aku singkirkan. Kenapa harus dia?
Oh tuhan, bangunkan aku.
Aku berusaha terlihat baik-baik saja agar semua bisa baik-baik saja. Aku tidak ingin cuman karena kegeoisanku semata, acara yang sudah susah payah dibuat oleh orang tua ku dan orang tua calon suami ku ini berantakan sia-sia. Walaupun dalam hati terdalam aku ingin acara ini batal karena bencana atau apapun itu. Ada korban jiwa pun aku tak masalah, yang penting aku bisa mengulur langkahku menuju pelaminan. Membayangkan kakiku melangkah ke arah altar membuat hatiku teriris satu persatu. Gugur bagai bunga menyapa musim dingin.
Aku mencoba mengintip dari balik ruang ganti. Ramai. Satu persatu aku perhatikan wajah para tamu itu. Siapa mereka? Apakah pernah bertemu? Saudara jauh? Relasi? Keluarga dari mempelai pria kah? Kenapa mereka disini? Apa cuman karena besarnya nama keluarga itu? Atau aku yang menyadingkan predikat seorang bintang? Entahlah. Rasanya menyebalkan ketika acara pribadi mu terlebih pernikahanmu dihadiri oleh orang yang bahkan jelas sekali tidak bisa kita ingat dalam memori kita. Sedalam apapun kita menggalinya ke dalam.
Aku berusaha mengenali wajah itu satu persatu. Mencari sesosok pria yang terlalu istimewa. Iya, dia terlalu istimewa. Bahkan bagi ku, yang kalian lihat adalah seorang bintang, tak mampu menyainginya. Karena dia seperti matahari. Tanpa ku, dia bisa bersinar cerah. Mungkin, tanpa dia di sisi, sekarang aku hanyalah manusia pada umumnya. Walaupun aku ingin begitu, namun aku juga tak ingin kehilangan dirinya. Lebih baik aku membuang mimpiku daripada apa yang ada dalam diriku hilang tak kembali.
Mata itu, Aku kenal. Tidak asing rasanya. Tahi lalat di sudut bawah kanan mata kanannya adalah cirinya. Aku tahu betul itu adalah dia. Ah! Apa yang harus aku lakukan? Berlari menemuinya kah? Meneriakkan namanya di depan lautan manusia ini? Atau aku diam saja memperhatikan dirinya.....
Letih....
Haruskan aku kembali seperti 2 tahun lalu. Hanya memperhatikan dan mengawasi. Tanpa tindakan yang berarti.
Letih.....
Melihat orang lain berada di sisi mu. Seharusnya aku. iya AKU!
Ketakutan ku muncul kemabali. Mengambil alih kendali tubuh ini. Ngilu terasa disekujur tubuhku. Derasanya emosi yang mengalir dalam tubuh membuat tubuh ini berguncang pelan. Tolong, jangan kembali. Aku merintih pelan. Setetes demi setetes air mata ini menalir membasahi pipi. Terjatuh pelan membahasi gaun putih perak ini.
Tersedu dalam rindu dan sedih, aku dikagetkan dengan suara keras di luar ruang ganti pengantin wanita.Aku seka perlahan air mata di kedua pipiku dengan telapak tangan. Satu, dua aku kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang cukup bodoh membuat keributan di acara sebesar ini? Apakah dia tidak takut dengan nama besar yang ada di balik punggungku ini? Bahkan, mafia kelas kakak pun berfikir dua kali jika ingin menganggu nama besar keluarga ini. Aku yakin, 10 menit lagi, namanya akan hilang di muka bumi.
Aku kembali terkaget. Suara besar itu kembali muncul. Namun datang bertubi-tubi. Seperti suara buku yang jatuh dari rak bersamaan.
Hening......
Pembunuh bayaran kah? Teroris? Atau siapa? Tolong, seseorang. Siapapun juga.
Kenapa? Kenapa minta tolong? Bukankah aku tadi menginginkan bencana terjadi? Agar segalanya bisa tidak terjadi. Bukankah aku pikir ada korban jiwa itu tak masalah? Ah, nyawaku ini saja juga aku rela. Asal aku bisa pergi dari sini. Aku menyeringai. Menertawakan rencana keji pada diri ku. Bersyukur atas kutukan dan bencana yang terjadi malam ini. Aku tertawa menyeringai. Membayangkan air mata dan darah tumpah beradu diantara bubuk mesiu. Hahahaha. Lakukan! Lakukan lah wahai orang asing! Luluhlantakan tempat ini! Kubur harapan dan impian mereka! Hanguskan seluruh tubuhnya sampai menjadi abu bertemu debu.
Dengan senyuman tipis dan bahagia tidak terkira aku berani menyambut pesta itu. Membuka pintu itu perlahan. Bersiap mengikutisetiap iramanya. Aku perkuat langkah dan genggamanku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Menghitung dalam hati. Menunggu kesiapan hati. Ini saatnya. Aku menyambut pesta ini. Tuan rumah harus menyelenggarakannya dengan meriah. Tuan rumah harus ikut bersenang-senang. Mari kita mulai pesta malam ini, hai orang asing.
Cahaya perlahan-lahan menerpa wajahku. Aku menerka-menerka siapa dia. Bagaimana rupanya? Apakah seperti Yakuza? Atau lebih mirip Mafia? Atau mungkin seperti teroris? Yang manapun tak masalah asal dia bisa membuat suasana malam ini meriah.
Mata kami beradu.
Senyuman gembira dan sakitku belum hilang. Rambut yang mulai kusutberantakan ini kurapihkan menepi. Agar mataku bisa melihatnya lebih jeli.
Kenapa?
Kenapa?
Dari bermilyaran manusia di bumi harus dia?
Sorot mata tajam itu. Mata kanan dengan hiasan di pojok kanannya itu. Hiasan penggoda para wanita. Dia, yang terlalu istimewa. Dia yang ingin aku tinggalkan. Dia yang tidak bisa aku singkirkan. Kenapa harus dia?
Oh tuhan, bangunkan aku.
0 comments