Pertiwi, maafkan aku.
Pernah gak sih lo merasa lo ingin kesuatu tempat dan akhirnya lo merasa lo harus berada di tempat itu? Apakah ini sebuah egoisme belaka dengan memaksakan sesuatu karena harus berada di sana ataukah ini sebuah firasat? Kalo dari yang paling waras mungkin pilihan pertama.
Kekecewaan terbesar seorang manusia apa yang diharapkan selalu tidak sesuai ekspektasinya. Mungkin ini kalo kurang tapi tetap berjalan. Tapi gimana kalo ternyata harapan itu sirna? Kekecewaan merupakan sebuah konklusinya.
Gue merindukan dia, gue ingin ketemu. Gue merasa gue udah terlalu lama tidak perhatian dengan dia. Seakan gue dan dia bukanlah siapa-siapa. Hanya orang asing dalam kesibukan yang bertatap muka tanpa saling melirik satu sama lain. Asing akan satu sama lain. Bukan siapa-siapa dan tidak ada harapan untuk berjumpa esoknya.
Tapi bukan. Terlalu banyak ikatan antar gue dan dia. Terlalu banyak pemberian yang udah dia kasih. Terlalu banyak permintaan yang gue ucap. Terlalu banyak salah yang menyakitinya. Kami hidup berdampingan sudah lama. Cukup lama. Mungkin tidak selama kakek gue yang udah berdampingan samanya lebih dari setengah abad. Menjadi saksi hidup perubahan demi perubahan tiap waktu. Jika ini bukan suatu hubungan tanpa arti, kenapa gue merindukanya? Walau mungkin kehadiran gue tidak diharapkan. Walau mungkin kunjungan gue akan mengancam nyawa gue. Walau selalu ada kemungkinan dia murka melihat wajah penuh dosa ini. Tanpa tahu diri menunjukan batang hidupnya setelah cuek beberapa lama, tiada kabar, tiada rasa terima kasih. Tiada rasa sayang yang jelas. Hanya pemanfaatan semua belaka. Mungkin gue pantas mendapatkan ganjaran. Sikap kurang ajar, tidak tahu diri ini adalah sifat manusia. Tamak dan tidak pernah puas. Dengan biadabnya gue selalu memerasnya, tanpa sedikitpun balas budi gue selalu mengeksploitasi dirinya. Maafkan, maafkan diri ini. Sungguh tiada kuasa untuk mengendalikan hawa nafsu ini. Sulit ketika sudah dibutakanya. Maafkan aku wahai sang pertiwi. Maafkan aku.
Suatu hari gue bermimpi, berlari bebas. Kencang sekali hingga rasanya angin menusuk kulit ini karena terpaan angin. Kaki ini seakan tiada letih untuk terus berlari. Sampai kapanpun kaki ini tidak akan berhenti. Pasir terasa pilu menyentuh telapak kaki. Tapi apa daya, hanya semangat yang jadi modal utama. Ingin memeluk mu dengan hangat. Tidur dipangkuanmu yang lembut. Dan mencium dirimu dengan kecupan mesra. Semua karena aku ingin kau tahu, bahwa aku sayang. Gue ingin dia tahu, gue gak bisa hidup tanpanya. Gue membutuhkan dirinya di dunia ini. Hanya itu motivasi ku, memberitahumu. Aku masih disini, ingin mencintai mu dengan seluruh daya ku. Aku ingin bertemu mu, aku ingin ke alam bebas. Bertemu sang pertiwi.
Tapi mungkin cuman mimpi. Entah sampai kapan.
Kekecewaan terbesar seorang manusia apa yang diharapkan selalu tidak sesuai ekspektasinya. Mungkin ini kalo kurang tapi tetap berjalan. Tapi gimana kalo ternyata harapan itu sirna? Kekecewaan merupakan sebuah konklusinya.
Gue merindukan dia, gue ingin ketemu. Gue merasa gue udah terlalu lama tidak perhatian dengan dia. Seakan gue dan dia bukanlah siapa-siapa. Hanya orang asing dalam kesibukan yang bertatap muka tanpa saling melirik satu sama lain. Asing akan satu sama lain. Bukan siapa-siapa dan tidak ada harapan untuk berjumpa esoknya.
Tapi bukan. Terlalu banyak ikatan antar gue dan dia. Terlalu banyak pemberian yang udah dia kasih. Terlalu banyak permintaan yang gue ucap. Terlalu banyak salah yang menyakitinya. Kami hidup berdampingan sudah lama. Cukup lama. Mungkin tidak selama kakek gue yang udah berdampingan samanya lebih dari setengah abad. Menjadi saksi hidup perubahan demi perubahan tiap waktu. Jika ini bukan suatu hubungan tanpa arti, kenapa gue merindukanya? Walau mungkin kehadiran gue tidak diharapkan. Walau mungkin kunjungan gue akan mengancam nyawa gue. Walau selalu ada kemungkinan dia murka melihat wajah penuh dosa ini. Tanpa tahu diri menunjukan batang hidupnya setelah cuek beberapa lama, tiada kabar, tiada rasa terima kasih. Tiada rasa sayang yang jelas. Hanya pemanfaatan semua belaka. Mungkin gue pantas mendapatkan ganjaran. Sikap kurang ajar, tidak tahu diri ini adalah sifat manusia. Tamak dan tidak pernah puas. Dengan biadabnya gue selalu memerasnya, tanpa sedikitpun balas budi gue selalu mengeksploitasi dirinya. Maafkan, maafkan diri ini. Sungguh tiada kuasa untuk mengendalikan hawa nafsu ini. Sulit ketika sudah dibutakanya. Maafkan aku wahai sang pertiwi. Maafkan aku.
Suatu hari gue bermimpi, berlari bebas. Kencang sekali hingga rasanya angin menusuk kulit ini karena terpaan angin. Kaki ini seakan tiada letih untuk terus berlari. Sampai kapanpun kaki ini tidak akan berhenti. Pasir terasa pilu menyentuh telapak kaki. Tapi apa daya, hanya semangat yang jadi modal utama. Ingin memeluk mu dengan hangat. Tidur dipangkuanmu yang lembut. Dan mencium dirimu dengan kecupan mesra. Semua karena aku ingin kau tahu, bahwa aku sayang. Gue ingin dia tahu, gue gak bisa hidup tanpanya. Gue membutuhkan dirinya di dunia ini. Hanya itu motivasi ku, memberitahumu. Aku masih disini, ingin mencintai mu dengan seluruh daya ku. Aku ingin bertemu mu, aku ingin ke alam bebas. Bertemu sang pertiwi.
Tapi mungkin cuman mimpi. Entah sampai kapan.
0 comments