Mengerti Tuhan

Apa rasanya kematian?
Sakitkah?
Atau kedamaian?

Entahlah, tidak ada yang tahu.

Namun, siapapun pasti ingin mereka mati dalam kedamaian. Tidak meninggalkan beban bagi diri sendiri maupun orang lain. Semuanya terpenuhi, tanpa tertinggal sedikitpun.
Gue inget dosen gue pernah bilang, jika waktunya sudah tiba, ia ingin merasa damai. Ketika ditanya tentang kesiapan hatinya, ia ingin langkah kakinya ringan. Bukan karena melupakan, tetapi karena dia sudah selesai dengan dunia ini. Tidak satupun yang tertinggal.


Gue sendiri? Entahlah, pertanyaan keinginan gue di dunia ini pun masih belum terjawab. Jadi gimana mau melangkah dengan ringan? Mungkinkah nanti gue jatuh di tempat bukan surga maupun neraka? Sepi adalah sahabat sejati di sana. Tempat merenungi keinginan di dunia nyata. Merenungi kesalahan, sampai akhirnya bisa ikhlas. Iya, ikhlas. Ikhlas memahami apa yang terjadi di dunia. Ketidakadilan, kesengsaraan, penderitaan, tangis, luka, adalah hal yang harus bisa diterima. Keikhlasan menerima itu semua tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Seberapa sering pula ketika dunia kita dibalikkan kita berkeluh kesah? Sering bukan? Mengadu, memaki pada tuhan akan ketidakadilan ini? Memaki dan menyumpah serapah mereka yang berada di atas harus menikmati apa yang kita rasakan juga. Dan akhirnya putus asa karena apa yang kita ucap tak akan pernah terdengan sampai langit. Terlalu jauh, terlalu rumit apa yang dipikirkan tuhan. Setidaknya itulah hal yang paling sering berada dalam pikiran kita ketika berada di bawah.

Sampai rasanya, lebih baik menghilang saja. Siapa yang butuh diri kita? Atau mungkin lebih baik kita tidak perlu ada. Kesialan kita akan menular dan menyebabkan keputusasaan terhadap yang lain. Menyusahkan saja kehadiran diri ini. Frustasi sendiri. Seringkali kita membenamkan wajah kita dalam sujud dan berharap kita sudah berada di langit. Melihat dunia dalam pandangan berbeda. Berharap kita tak pernah berada dibawah sana lagi. Menerima penderitaan itu dan keputusasaan itu.

Namun, itu sama saja dengan lari bukan? Ada yang bilang, di atas langit, terdapat langit lagi. Sepertinya jika begitu, kita hanya mengulang kesalahan yang sama. Sampai cukup tinggi dan akhirnya jatuh keras menghantam kenyataan.

Kadangpula sering ada dipikiran gue, gue yang sekarang adalah gue yang berada dalam lingkaran kehidupan yang ke berapa kali?

Bukankah jika terus berada dalam surga dan neraka selamanya akan membosankan? Mungkin akal pendek ini bertanya seperti itu. Sulit, memahami tuhan. Bukankah tuhan akan bosan melihat kita? Yang di neraka disiksa terus, yang disurga dimanjakan terus. Bukankah dunia akhir menjadi seperti itu saja? Jadi, mungkin pula setelah tuhan puas, kehidupan baru diciptakan lagi.

Terus, menerus.

Jadi, ini rotasi kehidupan yang keberapa? Seperti reinkarnasi mungkin?

Mungkin orang jahat akan terlahir menjadi rumput, batu, laut, pasir, batu bara atau hal lainnya. Sedangkan yang baik bisa menjadi manusia lagi. Atau orang jahat yang benar-benar menyesal diberikan pengampunan dan dihidupkan menjadi manusia lagi. Kira-kira, gue dulu menjadi apa? Manusiakah? Apa batu?

Tapi tidak ada yang semenyenangkan menjadi manusia. Penyesalan dan keputusasaan cuman tembok halangan menuju impian. Tidak ada yang salah dengannya. Cukup dihancurkan ataupun di lewati begitu saja. Asal, saat di ujung tidak ada yang tertinggal. Agar tidak menyesal dan meratapi kesalahan. Karena jalan kembali terhapus seiring dengan berjalannya waktu. Begitu waktu habis, tersesatlah kita dalam ketidaktahuan jika belum sampai. Jikalu ada yang tertinggal? Bersiaplah dalam penyesalan karna apa yang ditinggal hanya akan memberatkan beban langkah, dan satu langkah menuju impian menjadi mustahil. Alhasil, tersesat dalam kegelapan dan keputusasaan.

Sial? Gue rasa bukan. Tapi takdir. Memang, tuhan sulit untuk kita mengerti.

Jadi, percuma berkeluh kesah.

Share:

0 comments