Dibalik Sebuah Pertemuan

Banjir, buat Jakarta, emang udah bukan orang asing lagi. Jakarta sama Banjir udah seperti sahabat. Mungkin kekasih. Mereka akan bertemu lagi walapun terpisahkan cukup lama. Sayangnya, hubungan mereka gak direstuin sama penduduk. Gara-gara banjir sering ngeganggu aktivitas masyarakat Jakarta, belum lagi kerugian yang ditimbulkan. Tapi apa daya. Sebelum hubungan antara Banjir dan Jakarta terjalin, masyarakat sendirilah yang mengundang banjir untuk mampir, bertemu sapa, dan akhirnya menjalin kasih dengan Jakarta. Berawal dari restu mereka. Para penduduk pun mengizinkan hubungan itu. Kasih sayang mereka terjalin sangat kuat. Yang ada hanya rasa cinta.
Keduanya kasmara. Ah indahnya ketika kau jatuh cinta. Semua indah. Semua menyenangkan. PErasaan yang begitu kuat membuat kita terlena. Hubungan ini pun terus berlanjut. Waktu demi waktu terlewati. Cukup lama.  Waktu yang lama itu dihiasi berbagai pertemua singkat. Yang ironisnya selalu menghadirkan bencana dibalik kekuatan asmara mereka.

Pertemuan mereka tanpa janjian, lebih mirip siklus. Tanpa bicara, tanpa janjian, mereka akan bertemu. Seakan mengerti hati satu sama lain, karna rasa membutuhkan atau mungkin rindu. Jadilah mereka bertemu. Sayang beribu sayang, masyarakat yang selalu mendukung ketika Banjir tak pernah datang malah berubah perangainya. Mereka marah, kecewa, dan sedih ketika banjir datang. Tiba-tiba semua sepakat untuk tidak  menyetujui hubungan ini. Mereka benci ketika harus terganggu akan kedatangan Banjir. Tidak jarang emosi tersulut dan berbuah ricuh. Banjir yang tidak mengerti jalan pikiran mereka cuek saja. Dia tetap datang. Bahkan beribu kali lebih semangat. Membayangkan pertemuan dengan Jakarta. Harus, harus bertemu! Itu tekad banjir dalam hati yang terus menguat seiring perjalananya menuju pertemuan.

Hari pertemuan itu tiba. Singkat. Hanya sesaat. Menurut banjir.

Tapi tidak untuk masyarakat ibukota. Pertemuan itu seakan-akan bertahun-tahun lamanya. Mereka harus bertahan hidup dalam sebuah pertemuan rindu antar kekasih. Mereka membenci pasangan itu. Cemburu? Entahlah. Namun yang pasti masyarakat berjanji, di hari esok mereka akan menghalau pertemuan itu. Mereka akan berusaha keras untuk mencegah terjadinya bencana untuk mereka. Mereka harus segera keluar dari derita itu selamanya. Mereka tidak sudi menjadi korban dalam sebuah percintaan yang membawa petaka bagi mereka.

Tapi janji hanyalah janji.

Pertemuan itu tetap ada. Walaupun beribu janji diucapkan masayarakat. Walaupun sumpah serapah selalu menjadi hiasan ditengah bencana. Walaupun doa dikumandangkan diantara pedih. Hanya mulut yang sibuk bekerja tanpa ada daya dan jasa. Berkeluh kesah dan bergumam doa. Semua menjadi percuma.

Pertemuan itu tetap ada.




Share:

0 comments